es ist Liebe (part 1)

To the one I loved, I dedicated this page just for you.

kalo suatu saat kamu baca blog ini & ga ngerti, bisa di translate. Makanya jangan males kursus bahasa Indonesia. Masa gue terus yang ngomong bahasa Jerman, huhu 😿.

Sampai saat ini gue kadang suka ga nyangka, gue bisa kenal dengan manusia satu ini. Walaupun udah 3 tahun berjalan, tapi tetep aja ga nyangka. Kadang lagi duduk, terus tiba-tiba keluar pertanyaan

“Kok bisa ya?”

Gue juga ga tau.

Awalnya, pas gue masih pacaran (dengan laki-laki yang juga berasal dari negara sendiri) di Jerman, gue udah kekeuh ga bakal nyari pasangan bule. Why? Ya, karena beda kultur dan pastinya bakal rempong. Bayangan saat itu udah ga karuan. Pikiran gue saat itu juga ketika selesai Ausbildung, ya gue mau balik lagi ke Indonesia.

Tapi tidak begitu alur ceritanya.

Sampai akhirnya gue memutuskan untuk mengakhiri hubungan gue dengan pria Indonesia tersebut karena gue merasa ga cocok (maaf yak). Tapi gue juga turut senang karena akhirnya dia menemukan pasangan hidupnya sekarang. Lalu gue merasa bosen menyendiri dan iseng-iseng mendownload sebuah aplikasi bernama Tinder, hehe.

Gue banyak ngeliat cowok-cowok dari yang muda, sampe bangkotan, ada semua di situ. Gue sendiri pun membuat deal dengan diri sendiri,

“gausah match sama cowok-cowok sixpack, apalagi cowok yang aneh-aneh”

Karena eh karena, ya males aja, hehe. Mereka itu angkuh dan merasa keren karena punya badan bagus. Males aja liat cowok begitu, lagi kalo dipeluk juga ga empuk, eh. Dan gue juga lebih mencari match yang umurnya ga beda jauh. Yang muda-muda dibawah gue? Ya ogah lah, wkwk. Gue lebih memilih yang biasa aja. Sampai akhirnya gue swipe-swipe dan menemukan beberapa yang match dengan gue.

Satu hal yang membuat gue bertanya-tanya adalah ketika gue chat dengan si pria-pria ini. Most of them bertanya pada gue

“apa yang lu cari di app ini?”

Gue jawab simple aja, gue di sini mencari pasangan, done. dan beberapa dari mereka juga akhirnya menghilang dengan sendirinya (tipikal orang-orang di sini, mereka ga mau terikat dalam sebuah hubungan, ga bebas katanya). Setelah itu gue sempet ngobrol dengan kolega kerja gue yang asli Jerman, dia sendiri bilang kalau itu aplikasi untuk orang yang mencari on night stand”.

SHIT!!

Akhirnya gue lebih memperketat bio dan krieteria match gue dan juga gue semakin paham kenapa mereka bertanya demikian. Swipe, swipe, swipe akhirnya gue match dengan seseorang. Foto pertamanya sih normal, pas gue swipe foto kedua dan ketiga, isinya dia lagi melet dengan menunjukkan muka lawaknya.

😬 😗 🤪

Dan yang lebih membuat gue tertarik adalah, dalam bionya dia menulis kalau dia ga suka cewek dengan make up tebel berkilo-kilo, ga suka kalau cewek kemana-mana pake celana jogging. Yep, di sini anak mudanya kemana-mana suka pake celana jogging. Daaann dia juga nulis ga menerima hubungan on night stand! OMG!!!!

“Ini nih yang gue cari, normal yang ga normal!”

Nah, kali ini karena biasanya cewek yang selalu menunggu untuk dichat, sekarang gue yang chat duluan. Why? Memulai duluan dalam sebuah percakapan bukan berarti lo gatel atau sebagainya, kali. Except you tease him!

Percakapan pun dimulai. Mulai dari basa-basi nanya ini-itu. Musik kesukaan, lah. Hobi, lah. Basi banget, ya. Jaman sekarang masih tanya begituan. Yang gue juga masih inget adalah gue ngechat dia bertepatan dengan ulangtahunnya, yang berarti mungkin gue hadiah ulangtahun buat dia dari Tuhan.

Najis banget lu, kepedean 😭

Saking senengnya gue akhirnya cerita ke salah satu kolega kerja gue yang lain. Gue cerita kalau gue sekarang punya kenalan cowok. Kolega gue kaget dan mewanti-wanti gue buat hati-hati. Dia berpikir demikian karena gue cewek dari negara antah berantah dateng ke Jerman dan kalau ada apa-apa ya berabe! Gue pun jadi deg-degan.

Akhirnya beberapa hari setelah chat, kita merencanakan untuk kopi darat. Beberapa kali ga berhasil karena jadwal kerja gue yang ga fleksibel alias dikekang sama bos gue. Sialan emang, sampe sekarang gue masih dendam 😂. Hingga akhirnya suatu malam gue bisa pulang kerja lebih awal, yaitu jam 7 dan besoknya gue dapet libur. Langsung lah gue chat dia, ga disangka ternyata dia mau jemput gue hari itu juga.

SHIT!! 2.0

Gue jujur deg-degan karena gue kepikiran sama apa yang kolega gue bilang. Berhubung udah makin gelap dan dingin, gue buru-buru pulang dan mengemas barang bawaan gue karena dia bilang bakal sampe di tempat gue jam delapan kurang. Okay! *tangan gemeteran*.

Gue sempet berpikir kalau itu cuma omong kosong belaka. Gue bahkan sempet yakin kalau dia ga bakal dateng. *tapi tetep packing tas*. Akhirnya gue menunggu dengan deg-degan di kamar.

„aku udah sampe, ya!”

Sialan!! Ternyata beneran 🤯!! Gue saat itu ga berani ngintip dari jendela dapur karena di sana temen-temen serumah lagi pada ngumpul. Akhirnya gue beranikan diri untuk turun ke lantai bawah bersama dengan tas dan sepatu gue. Gue juga sengaja ga berpamitan sama temen-temen gue. Hey guys, if you read this, sorry ya 😂.

Ketika gue turun, gue melihat sesosok tinggi besar (bukan genderuwo untungnya) berdiri di samping mobil. Selama ini gue berpikir kalau dia itu sama tingginya dengan gue. Ternyata tingginya 180 cm. Gue berasa jadi liliput, huhuhu!

“Hey!” Sapa gue

Dia menyambut gue dengan pelukan hangat (aseeek) sambil menanyakan gimana kabar gue hari itu. Dia juga menyuruh gue masuk mobil karena malam makin dingin. Akhirnya kita berdua pun menuju Lübeck, tempat dia tinggal.

Di tengah-tengah perjalanan gue sempet merasa was-was dan takut kalau tiba-tiba diturunin di pinggir jalan yang antah berantah ini. Yang gue tau waktu itu kita ada di jalan tol menuju Lübeck, tamat. Belok kiri, belok kanan, akhirnya gue sempat menyadari bahwa dia tinggal bukan di pusat kota melainkan lebih ke pinggiran kota Lübeck.

„Kamu liat rumah yang besar itu? Bentar lagi kita sampai“

Anjaaay udah kayak drama korea ga tuh 😂

Gue liat rumah yang dia tunjuk sambil berkata dalam hati „besar juga rumahnya“. Setelah parkir di garasi, gue heran kok ada tiga pintu utama. Akhirnya gue sadar kalau rumah besar itu dibagi menjadi 3 rumah kecil. Udah pede aja gue, haha 😭. Gue pun dipersilahkan masuk.

Dia nunjukin ruangan-ruangan yang ada di rumahnya. Setelah sedikit berkeliling, dia nanya

„Jadi gimana menurutmu? Rumahnya luas kan?“

Luas, luas kok pak. Saya jadi deal ya! Eh tapi KPRnya gimana pak? Pertanyaan macam apa ini. Apakah pertanyaan ini normal diajukan ketika anda pertama kali mengundang seseorang ke rumah? Ah, orang Jerman!

„Oh, iya iya, luas kok! Btw kamu tinggal sendirian di sini?“

Dia mengangguk sambil bercerita kalau dulu ia sebenarnya tidak tinggal sendiri, melainkan dengan teman perempuannya. Perlu digarisbawahi, teman perempuan. Bukan pacar, tetapi teman.

Eh, bentar-bentar. Sebelum lanjut, gue mau minta maaf dulu sama kalian kalau bahasa yang gue pake kadang ga formal, kadang formal. Maaf yak 🙏🏼. Lanjut mang!

Nah akhirnya malam itu kita masak-masak di dapur, karena dia mau membuktikan bahwa apa yang gue tulis di bio tinder gue nyata adanya.

Pandai memasak masakan asia. Kampret lah!

Usut punya usut ternyata kamar tidurnya saat itu lagi ga bisa dipakai karena dia sedang membangun sebuah dipan dari Paletten dan kita akhirnya tidur di ruang tamu. Gue pun akhirnya juga semakin paham bahwa sofa-sofa di Jerman itu segede orang-orangnya. Bahkan satu sofa besar bisa buat dua orang guling-gulingan di atasnya. Cucok buat tamu yang mau nginep, lu suruh aja tidur di atas sofa, nyenyak sampe pagi dijamin.

Satu manusia di kiri, satu manusia di kanan tidur selonjoran

Pagi harinya, dia masak sarapan buat kita berdua. Kita pun sarapan sambil nonton film Jumanji.

Hahaha! Foto ini gue ambil diem-diem sebagai kenangan.

Setelah sarapan, gue pun kembali mengemas tas yang gue bawa. Dia mengajak gue ke sebuah Weihnachstmarkt atau pasar malam dalam menyambut hari natal dan kita mengambil foto selfie berdua.

Aseeekk!

Dia mengajak gue untuk minum Glühwein sambil mengobrol. Dalam obrolan tersebut dia bilang:

“aku ga akan pernah keberatan jika kamu beribadah 5 waktu menghadap Kabbah”

Mata gue melebar, mulut gue pun hampir melongo. Satu hal yang gue pikir saat itu adalah besarnya toleransi yang dia punya. Kebanyakan orang-orang di sini menganggap agama islam sebagai, u know lah. Bahkan kejadian-kejadian rasis pun pernah gue alami di tempat kerja. Tapi dia lain. Salah satu poin inilah yang membuat gue berpikir kalau gue harus mempertahankan hubungan ini.

Selesai ke pasar malam, dia mengantarkan gue menuju stasiun kereta karena gue harus pulang dan kembali bekerja keesokan harinya. Sembari menunggu kereta, kita lanjut ngobrol kecil.

“Jadi gimana sama hubungan ini? Mau dilanjutin atau ngga?”

Dia bertanya dengan nada lembut (bangeeett). Butuh mikir apalagi coba? GUE PUN MENGIYAKAN PERTANYAAN TERSEBUT!!! Dan untuk memastikannya, gue balik mengajukan pertanyaan.

Jadi kita official as a partner, ya?

Dia pun mengangguk sambil senyum.

Awbdjanakdjdjskak sjskajdjdjjdksksjn!!!!

Gue seneng banget! Setelah berpamitan dan masuk ke dalam kereta, gue masih berbunga-bunga dengan kejadian barusan. Hahay!! Rasanya kayak balik lagi ke moment-moment jatuh cinta pas remaja. Bedanya kali ini remaja jompo.

Lanjut ke part 2 😉.

Tinggalkan komentar