
Setelah akhirnya kita menjalin hubungan yang lebih serius, gue banyak mendalami karakternya. Gue sendiri pun sampai sekarang merasa bersyukur banget bisa mendapatkan laki-laki seperti manusia ini. Karena apa? Ternyata kesabarannya seluas lautan.
Gue adalah tipikal orang yang pendiam. Tapi gue juga bisa marah kalau keadaan sekitar memancing gue untuk emosi. Selama gue Ausbildung, gue selalu merasa stress dan tertekan. Gimana ngga? Lingkungan dan atasannya kebanyakan toxic. Ketika gue udah mulai stress, manusia satu ini lah yang mulai memegang kendali, menenangkan gue sambil mengajak gue untuk mengobrol, menelusuri jejak emosi gue dan akhinya mengambil solusi bersama.
Salah satu hal yang gue inget waktu itu adalah ketika dia main ke tempat gue kerja dan duduk di kursi bar. Saat itu kita memang tidak punya tamu satu pun dan tiba-tiba bos datang. Gue dengan senang hati memperkenalkan dia dengan bos gue. Bos gue yang kala itu adalah seorang nenek tua, cuma mengangguk sambil melirik tajam pria tersebut. Tidak disangka-sangka keesokan harinya, atasan gue mengatakan untuk berhati-hati dengan pria tersebut.
“Jangan sampai dia mempengaruhimu!”
Duh, sialan! Kayaknya potensi gue untuk pindah tempat kerja dari sini ke Lübeck udah mulai tercium 😂. Bos gue merasa takut kalau gue akan dihasut oleh orang lain untuk pindah dari tempat laknat ini.
Salah satu persamaan dari kita adalah sama-sama pernah menjadi korban bullying. Bangsat ye emang! Tapi dari situ juga kita saling paham dan mencoba melengkapi satu sama lain.
Semakin dalamnya hubungan ini membuat gue semakin takut. Gue berpikir kalau suatu saat nanti kita menikah, mau ga mau gue harus stay di Jerman dan meninggalkan keluarga gue di Indonesia. Ya ga sepenuhnya meninggalkan sih, tapi mungkin butuh waktu dan dana untuk pulang kampung.
Gue jadi kembali teringat waktu itu gue sempat mengutarakan plan gue kalau sampai umur 30 tahun gue masih juga belum punya pasangan, menikah atau punya anak, gue akan memutuskan untuk melajang & pulang ke Indonesia untuk mengurus orangtua gue.
„Ya sekarang kan kamu punya aku“
Awwww, so sweet! Tapi agak sedih juga. Gue akan jauh dari orang yang gue sayang untuk orang yang juga gue sayang. Andai Indonesia itu ada di deket Jerman, hadeeh ga usah mikir aneh-aneh deh!

Hubungan kita saat itu pun diwarnai dengan LDR. Saat itu dia masih bekerja sebagai pengantar paket. Bukan kayak abang-abang Shopee, hey! Dia sendiri pun kebetulan sebelum kita saling kenal sudah sering mengantar paket di sekitar tempat gue tinggal. Jadi ketika gue belum berangkat kerja dan dia lagi istirahat, kadang kita meet up sebentar walau cuma minum kopi atau lainnya. Kita bener-bener memanfaatkan waktu sebaik mungkin, karena gue jarang mendapatkan libur sabtu & minggu. Sementara dia libur ketika weekend.
Pulang pergi naik kereta atau bus pun sudah menjadi warna-warni di kehidupan gue kala itu. Walaupun capek dan kadang juga menguras uang karena tiket yang mahal juga gue jabanin kala itu. Maklumlah masih berbunga-bunga.
Satu hal yang sempat dia bilang akhir-akhir ini adalah
“kita kan ketemuan pas udah di umur segini, ya. Coba kalau aku bisa ketemu kamu pas lagi umur 18 tahun”
18 tahun?! 18 tahun posisinya gue masih sekolah di SMM dengan muka lusuh ga tau cara make up dan masih berada dibawah tekanan mantan psycho. Mau apa lu dateng ke gue pas umur gue 18 tahun, buset dah!
“ya, aku mau bilang ke kamu untuk secepatnya dateng ke Jerman” lanjutnya.
Gue langsung senyum dan kembali throwback jauh ke belakang. Mungkin saat itu bisa jadi moment yang manis, tapi saat ini juga ga kalah manisnya. Bayangin aja tiba-tiba ada bule Jerman dateng ke gue dan ngajak gue ke negara asalnya (semoga bukan human trafficking). Gue pun menangkis ucapannya.
“Yah, kayaknya di umur-umur segitu kita juga lagi naif-naifnya. Sekarang kan kita sama-sama dewasa. Bisa berpikir dengan matang. Mungkin kalau kita dulu ketemu, belum tentu bisa kayak sekarang. But who know?“
Gue pun kadang merasa kalau dia ga selamanya selalu manis. Salah satu hal yang kadang membuat gue dongkol adalah sifat pemalasnya. Kadang suka lupa taruh piring lah, barang berantakan kemana-mana lah. Tapi hey, gue juga kadang demikian. Dan dia lah yang merubah mindset gue untuk kembali berkaca sebelum marah-marah akan kesalahan orang lain.
Mungkin sebagian orang berpikir kalau dia ga ganteng-ganteng amat. Jujur ya, sekarang gue ga peduli apa yang orang bilang. Banyak kebaikan-kebaikan dia yang menutupi kekurangannya. Lagian apa benefitnya kalo ganteng? Enak dipandang? Udah, gitu doang? Dia pun termasuk orang yang humoris dan kadang humornya suka diselipkan dark jokes.
Hal-hal lain yang gue suka adalah dia bukan perokok, peminum, ataupun suka bola. Okay, okay, okay. Ga ada yang salah dengan suka bola. Tapi gue juga ga suka bola. jadi kita sama-sama ga suka bola atau lebih tepatnya bukan penggemar sepakbola. Menurut gue hal-hal seperti ini jarang ditemukan pada orang-orang lainnya di sini dan menurut gue ini juga termasuk point-point plus yang gue temukan di dalam manusia ini.
Adapun gue sempat melihat salah satu postingan seorang perempuan yang merantau ke Belanda dan di sana ia pun tetap bekerja menjual masakan meskipun sudah memiliki suami. Banyak komentar pedas yang mengatakan bahwa ia tidak dinafkahi oleh suaminya. Hal ini pun membuat gue berpikir bahwa meskipun cowok gue ini bekerja, gue pun juga ga mau meminta-minta. Prinsip gue adalah gue pertama kali datang ke Jerman dengan tujuan untuk Ausbildung dan sekarang gue udah bisa kerja sendiri, gue bisa nikmatin jerih payah gue tanpa mengemis pada pasangan. Apa salahnya menjadi mandiri meskipun pasangan loyal.
Dan ngomong-ngomong tentang makan, dia ga pernah protes atau keberatan kalau gue masak makanan Indonesia yang notabene tiap hari gue masak. Ayam ungkep lah, opor sayur lah, gado-gado lah, tumis kangkung lah, apapun dia makan kecuali..
“Semua yang kamu masak enak-enak, tapi aku ga mau lagi makan ceker ayam atau kepiting”
Padahal segala udah pernah dia makan, daging buaya lah, daging Zebra lah. Tapi ceker kaga doyan huhu. It’s okay, kita ga boleh memaksakan selera orang 😊
Inti dari postingan ini adalah, gue selalu bersyukur bahwa Tuhan telah menghadirkan seseorang yang selalu sabar, mendengarkan keluh kesah gue, ada di setiap waktu, dan menerima gue apa adanya.
für meine Geliebte Alexander Weis, ich weiß dass ich nicht perfekt bin. Aber eine Sache die du wissen musst, dass ich dankbar bin. Ich bin dankbar, dass ich dich habe. Bin dankbar für deine Mühe, deine Geduld, deine Verantwortung, deine Liebe. Danke für alles, was du für uns getan hast. Und eine Sache die ich immer wieder sagen will,
ich liebe dich.

Tinggalkan komentar